Friday, May 15, 2009

Performance Art - seni sesat masa kini? 





Dada is the groundwork to abstract art and sound poetry, a starting point for performance art, a prelude to postmodernism, an influence on pop art, a celebration of antiart to be later embraced for anarcho-political uses in the 1960s and the movement that lay the foundation for Surrealism.”

-Francis Picabia

Petang itu selepas hujan lebat di Kuala Lumpur, Poodien lulusan seni halus Institut Teknologi Mara Shah Alam tampil dengan busana sehelai baju t dan seluar khakis putih. Kemudian dia menulis teks di atas beg kertas, meniup belon dan memasukkan ke dalam beg kertas itu lalu memberikan kepada khalayak penonton atau mereka yang lalu lalang. Di samping Poodien dua insan menarik gulungan panjang kertas putih, kemudian dari dua arah bertentangan mereka perlahan-lahan memotong kertas dengan basah liur ludah dan lidah (persembahan seniman Kuala Lumpur, Sharon Shin dan Mo Satt dari Burma).

Seni sesat apakah ini?” Begitulah reaksi khalayak saat menyaksikan performance ‘Buka Jalan’ di Bukit Bintang pada penghujung Mac tahun 2008 yang dulu. Muncul pertanyaan buat mereka yang belum mengerti performance art (atau istilah yang saya pakai di sini - seni tampak persembahan). Bagi masyarakat umum Malaysia kesenian bentuk ini mungkin hanya dapat dimengertikan sebagai kegilaan – kalau menurut Hishamudin Rais, “gila yang 999 macam gila.”

Berbeza dengan performing arts (seni persembahan konvensional - tari, drama, teater, nyanyian, muzik) yang konsep serta susunan hukumnya telah tertata rapi, performance art hadir sambil melalui ruang dan membuka konsep-konsep kesenian yang baru. Biarpun performance art boleh saja menyertakan unsur tari, muzik, lakonan dan sebagainya, namun ia tetap saja bukan seni persembahan, kerana bukan tari, muzik atau lakonan yang menjadi objek seninya. Pengaruh seni tampak (visual arts) memang cukup kuat dalam performance art, sejak dari gerakan budaya dadaisme di kota neutral Zurich saat perang dunia pertama, membawa kepada kelahiran kelompok Gutai di Jepun pada tahun 1950 an hinggalah kepada gerakan politik budaya kaum Situationist 1960 an di Eropah.

Dalam salah satu pameran seni tampak kelompok Gutai, seniman Atsuko Tanaka memperagakan kimono Jepun yang dibalut dengan serangkaian wayar kabel ke sekujur tubuh serta busana tradisionalnya (Electric Dress, tahun 1956). Karya yang dihadirkan di Takamatsu City Museum of Art ini merupakan maklum balas terhadap perkembangan teknologi bagi peradaban manusia. Di Malaysia gerakan seni Anak Alam pada tahun 1970 an merupakan antara pelopor awal performance art. Anak Alam dengan penggeraknya seperti Mustaffa Ibrahim, Ali Rahamad, Zulkifli Dahalan dan Latiff Mohideen menggabungkan seni lukis, teater, puisi, sastera dan muzik serta menyebutnya sebagai seni eksperimental. Tahun 1974 juga menyaksikan persembahan kontroversi penyair Salleh Ben Joned yang kencing ke atas karya seni Sulaiman Esa dan Redza Piyadasa dalam pameran “The Mystical Reality” di Dewan Bahasa dan Pustaka.

Bulan April 2008, aku bersama Poodien telah berkelana ke Jogjakarta, Indonesia untuk ikut terlibat dalam festival seni tampak persembahan “Perfurbance#4-International Group Performance.” Perfurbance merupakan festival seni kota yang membawa kesenian bentuk baru ini kepada perhatian masyarakat. Kali keempat acara ini dianjurkan membawakan tema “Pemanasan Global, peringatan Global.” Bertempat di Desa Kerintjing, di kaki gunung berapi Merapi, berlangsunglah festival ini selama lima hari. Seniman tempatan dan manca negara, krew, wartawan serta penonton bergabung tinggal bersama orang-orang kampung. Para seniman cuba meluahkan permasalahan dalam bentuk kesenian seni tampak persembahan untuk ditunjukkan kepada masyarakat desa. Dalam waktu yang sama, masyarakat desa mempersembahkan kesenian tradisional seperti Kuda Lumping dan Reog Ponorogo serta tari “trance” gubahan masakini dari desa. Festival kesenian ini dianjurkan oleh Performance Klub Jogjakarta. Desa dan kota menyatu sebagai kejadian seni baru yang mengungkap permasalahan sejagat masa kini.

Dalam festival tersebut aku dan Poodien telah bersekutu melakukan performance bersama seniman Surabaya, Chalabi dan Ilham J. Baday. Performance kami yang berjudul “Rumah kaca, cermin diri,” melibatkan penyertaan penduduk desa dan para seniman performance lainnya. Dalam dingin angin Merapi, petang itu di sepanjang kiri dan kanan jalan Desa Kerintjing, kami menyusun puluhan khalayak penonton/peserta sambil memberikan setiap seorang kad nama (hanya cermin yang dipotong sebesar saiz kad nama). Akhirnya performance kami menjadi seni pemasangan (installation art) yang hidup dengan sebarisan manusia memegang cermin sambil memerhatikan diri dan alam keliling. Kami cuba mengungkap permasalahan global berkait dengan sikap setiap dari kita sendiri. Justeru amat wajarlah kita semua bercermin diri memikirkan tindakan menyelamatkan bumi daripada pemanasan global.


Presiden Performance Klub, Iwan Wijono bukanlah orang baru dalam kegiatan seni tampak persembahan antarabangsa. Iwan lahir dalam gerakan aktivisme mahasiswa 90 an di Indonesia melawan rezim Suharto di jalanan. Iwan dalam salah satu persembahannya pernah ikut sama-sama membakar efigi patung Suharto. Iwan bergerak dalam wadah performance art, memperkenalkan konsep, “tubuh sebagai gerakan sosial.” Buat Iwan media tubuh atau seni tampak persembahan cukup mantap untuk, “menyampaikan mesej-mesej politik.” Bekas mahasiswa undang-undang Universiti Islam Indonesia dan seni lukis Institut Seni Indonesia ini yakin tubuh manusia memiliki erti dan makna ketika melakukan kegiatannya. “Sebagai makhluk sosial, tubuh manusia mampu melakukan pergerakan sosial baik lokalitas sosial politik, budaya, dan alam lingkungan melalui gerakannya,” katanya.

Dalam gerakan reformasi di Malaysia, sebenarnya telah wujud performance art biarpun tanpa kehadiran penulisan laporan atau wacana lengkapnya. Peristiwa menyebat efigi patung Pak Lah dan Mahathir pada Februari 2001 merupakan kejadian seni tampak persembahan. Dalam performance tersebut, khalayak yang datang membantah keputusan Kementerian Dalam Negeri mengurangkan permit penerbitan Harakah. Mereka ikut berkumpul di perkarangan Masjid Negara serta turut sama menyebat dua efigi pemimpin negara itu.


Sebelum pilihanraya umum 2008 yang lalu, seawal bulan Januari sekumpulan anak-anak muda yang menamakan diri mereka Sekretariat Bertindak Anak Muda Malaysia (Sama), suatu inisiatif spontan turut melakukan performance art sebagai bantahan politik. Sama membantah kepimpinan Dollah Badawi yang lemah dan punya reputasi suka tidur dalam mesyuarat. Mereka menghantar memorandum berupa bantal kepala dan bantal peluk ke Jabatan Perdana Menteri, Putrajaya. Antara yang terlibat ialah penulis dan penyanyi ‘folk’ Amin Shah Iskandar atau Black, aktivis politik Cikgu Badrul Hisham, seniman Poodien dan ramai lagi.



Terbaru tindakan seni oleh Solidariti Anak Muda Malaysia (SAMM) telah sekali lagi mencipta sejarah seni tampak persembahan di Malaysia. Bersempena sambutan hari lahir Altantuya, mereka menghantar kek harijadi ke Jabatan Perdana Menteri, Putrajaya. Ia berakhir dengan penangkapan 5 orang penggiat SAMM - 1.Sani Md Shah; 2.Saufi Mihat; 3.Yasir Sheikh Abdul Rahman; 4.Cikgu Badrul Hisham; 5.Nor Azizi.

Barangkali ada benarnya seni tampak persembahan merupakan suatu bentuk kegilaan. Namun ia bukan sekadar kegilaan biasa dan umum, seperti gila harta, gila duit, gila tanah, gila rasuah, gila kuasa atau gila seks. Malahan seni tampak persembahan boleh menjadi ungkapan yang menangkap kegilaan masyarakat hari ini lantas kemudian meluahkannya kembali sebagai objek seni -sementara, sekarang, hidup- yang cukup bererti. Tidak kiralah apa saja kegilaannya, sama ada sistem politik ekonomi yang tidak setara, rasuah dan salah guna kuasa, perang, pemusnahan alam, pencemaran atau perilaku kebiasaan sehari-hari serta perihal identiti diri. Performance art adalah kegilaan untuk kita terus mempertanyakan erti dan fungsi seni, juga menyoal monopoli (atau dalam kes-kes melampau menjadi kediktatoran) pihak-pihak berkuasa kesenian – institusi, galeri, guru dan para seniman profesionalnya!

11 comments:

  1. bagus dan padat. sesuailah sebagai author untuk bab reaction tu :)

    ReplyDelete
  2. entahlah akupun tak tahu. main hantam saja. cuma aku tertanya-tanya, para seniman profesional itu yang sibuk asyik masyuk dengan kununnya wacana pasca moden, deconstructionism atau apa2 lagilah tentang post conceptualism - masih lagi mendukung meta naratif institusi dan kunun para guru mursyid itu. pelik. lebih mengejutkan lagi ingin pula menguasai sejarah! kata ini zaman kehancuran makna!

    ReplyDelete
  3. Mudah nar semua benda boleh jadi seni!

    ReplyDelete
  4. mmg mudah kalau kita menghargainya...seperti sel, daging, kulit, tulang manusia, alam, pokok itu sendiri-cuma kesedaran tentang kesenian selama ini hanyalah dalam monopoli institusi.

    ReplyDelete
  5. Mat,

    Cuba tanya Poodien, berbasikal 'kritikal mass' yg kami buat 2007 dulu termasuk 'performance arts' jugak ke? Sebab basikal yang dikayuh berbagai2 jenis dan pengayuhnya juga berbagai2 ragam.

    Shah

    ReplyDelete
  6. utk aku itupun 'performance art' juga. ataupun boleh kita lihat dari 'entry point' kesenian sub-budaya anak-anak muda kota yang kosmopolitan.

    ReplyDelete
  7. sangat menarik kalau kita menggunakan 'entry point' utk melihat kepelbagaian bentuk seni termasuklah yg bersifat sub-budaya. Street custom pun tidak terkecuali.

    Aku amat kagum melihat anak2 muda mencipta basikal chopper/lowrider di bengkel Wangsa Maju. Mereka sangat kretif dan kesenian yang tercipta aku kira setaraf dengan apa yg dibuat oleh anak2 muda di negara maju seperti di Melbourne ini.

    ReplyDelete
  8. mat, ini juga masuk kategori seni perfomans?

    http://anilnetto.com/malaysian-politics/who-was-that-taped-man/

    ReplyDelete
  9. jelas sekali...terima kasih. aku sdg mengumpulkan ungkapan2/ luahan2 sebegini

    ReplyDelete